Rabu, November 11

Contoh BAB I Jurnalistik (Kualitatif)

BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Sejak peristiwa bom WTC beberapa tahun silam, tepatnya 11 September 2001, di New York Amerika Serikat, terorisme telah menjadi musuh utama negara adikuasa tersebut. Akibat peristiwa itu, umat muslim semakin dipojokkan sebagai pelaku terorisme. Sebab menurut laporan versi pemerintah AS, pelaku bom bunuh diri itu adalah anggota Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Bahkan hanya berselang dua hari sejak kejadian itu, Presiden George W Bush mengumumkan kepada publik bahwa dalang pemboman WTC adalah Osama Bin Laden, meskipun tudingan tersebut tidak disertai dengan bukti yang meyakinkan.
Sejak itu propaganda mengenai Islam adalah teroris terus dilakukan oleh pemerintahan Bush. Mengapa dikatakan sebuah propaganda, sebab meski belum terbukti, pemerintahan Bush terkesan memaksakan kehendak untuk menyerang Afganistan yang dituding melindungi Bin Laden. Alasan serupa juga dipakai ketika menyerang Irak, setelah tidak menemukan bukti adanya senjata pembunuh massal di "Negeri 1001 Malam" itu.

Peristiwa WTC sendiri telah menimbulkan polemik dan kontroversi, baik di dalam negeri AS sendiri maupun di dunia internasional. Tidaklah heran jika banyak pihak bertanya-tanya, atau bahkan dari waktu ke waktu, semakin mencurigai ada sesuatu di balik serangan teroris paling mengerikan dalam sejarah manusia tersebut. Rasa curiga tidak hanya muncul pada kelompok muslim fundamentalis, namun juga merambah hingga masyarakat barat demokratis. Dalam situs Uni Sosial Demokrat, Ivan A. Hadar, editor bahasa buku (terjemahan) Konspirasi, Teori-teori Konspirasi dan Rahasia 11.9 memberikan gambaran seputar kontroversi tersebut. Ivan menyebutkan, di Jerman menurut sebuah polling mingguan bergengsi Die Zeit (20 Agustus 2003) lebih dari dua puluh persen warga Jerman curiga atas kebenaran versi resmi Pemerintah AS tentang serangan 11 September 2001. Bahkan, Ivan menambahkan, suara skeptis pun bermunculan di AS yang diwakili oleh sebuah kelompok inklusif "9/11 Truth Alliance," yakni sebuah perkumpulan untuk pengungkapan 11 September 2001 yang merupakan gabungan perorangan atau organisasi yang cukup beragam.

Tragedi 911 sudah memakan banyak korban. Tidak hanya sekitar 3.000-an warga sipil yang ada di gedung-gedung WTC atau di dalam pesawat terbang komersial yang dibajak para teroris itu saja, melainkan juga ribuan warga sipil di Afghanistan dan Irak yang menjadi korban balas dendam militer AS dan sekutunya. Belum lagi jutaan warga sipil di berbagai belahan bumi yang dicekam rasa ketakutan luar biasa karena setiap saat dapat dikenai tuduhan (tanpa bukti) terkait dengan jaringan para teroris pelaku tragedi 911.

Fakta-fakta yang kontroversial tersebut, nyatanya tidak menyurutkan niat Presiden Bush untuk meneruskan misinya menyerang negara-negara yang memiliki potensi minyak yang cukup besar, seperti Afghanistan dan Irak. Sebagaimana diungkapkan oleh Richard Clarke, untuk menjalankan misinya tersebut, Bush telah melakukan propaganda tentang terorisme, dengan mengkaitkan Islam dengan teroris, meskipun tidak didukung dengan bukti-bukti yang menguatkan.

Mengapa tindakan Bush itu disebut sebagai suatu propaganda? Sebab apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Bush, semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti melalui sebuah cerita, rumor laporan gambar-gambar, dan bentuk lainnya yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial (Lasswel, 1927, dalam Nurudin, 2001:63).

Melalui laporan tragedi 911 (yang kebenarannya diragukan oleh banyak pihak) yang dikeluarkan Gedung putih, Bush mencoba untuk membentuk opini publik, bahwa Amerika Serikat (AS) telah diancam oleh teroris yang berasal dari kalangan muslim. Oleh karenanya, ia (Bush) akan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk terorisme, salah satunya dengan menyerang negara-negara yang menurutnya sebagai sarang teroris.

Hal tersebut sejalan dengan salah satu komponen propaganda yakni, dalam propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan perilaku sasaran propaganda (Nurudin, 2001:10).

Tehnik propaganda ini pun, menggunakan metode labelling dengan memberikan label teroris terhadap umat Muslim. Sehingga terbentuk opini bahwa umat Muslim identik dengan aktivitas teror dan kekerasan. Dengan adanya labellling tersebut, dapat menggoyahkan identitas umat muslim itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Deddy Mulyana dalam bukunya Nuansa-Nuansa Komunikasi (Mulyana, 2001:70) :
Teori penjulukan (Labelling theory) menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Karena berondongan penjulukan yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang diberikan orang lain.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, untuk mendukung penjulukan yang dilakukannya, Bush telah memanipulasi data-data seputar tragedi 911, termasuk identitas dari pelaku bom bunuh diri tersebut. Masih menurut Riza, Pastore dalam bukunya Stranger Than Fiction: An Independent Investigation of the True Culprits Behind 9-11, mengungkapkan bukti seputar manipulasi identitas pelaku bom WTC. Dalam buku itu Pastore menyebutkan bahwa 7 dari 19 anggota Al Qaeda yang dituduh sebagai pelaku pembajakan, kini ternyata masih hidup (Riza Sihbudi, Teka-teki Tragedi 911). Dalam bukunya, tulis Riza, Pastore mengutip laporan The London Times :
"Thousands of FBI agents have rounded up more than 1,300 suspects across America since September 11, but they have failed to find a single Al Qaeda cell operating in the United States.Tom Ridge, Director of Homeland Security could not explain why none had been caught." (Riza Sihbudi, Teka-teki Tragedi 911).

Karena sikap pemerintahan Bush yang terkesan menutup-nutupi fakta seputar tragedi 911, telah menimbulkan gelombang ketidakpercayaan di masyarakat AS, khususnya dari keluarga korban WTC 911. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, gelombang ketidakpercayaan itu telah memunculkan berbagai macam gerakan, salah satunya "9/11 Truth Alliance." Gerakan semacam ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam, namun juga oleh akademisi, politisi, penulis, dan selebritis Hollywood, seperti Gore Vidal dan Noam Chomsky; ekonom asal Kanada, Michel Chossudovsky; penulis Inggris, Nafeez Ahmed; dan mantan anggota Kongres AS, Cynthia McKinney; mantan wakil menteri di kabinet Bush Senior, Catherine Austin Fitts; serta profesor di New York University, Mark Crispin Miller. Bahkan, anggota Senat aliran konservatif dan calon Presiden AS dari Partai Demokrat, Bob Graham.
S
alah satu upaya yang dilakukan gerakan ini, dengan melakukan upaya melawan propaganda yang dilakukan pemerintahan Bush, atau yang lebih dikenal dengan istilah counter propaganda (Nurudin, 2001:124-125). Salah satu contoh bentuk counter propaganda itu adalah film Fahrenheit 9/11 karya sutradara Michael Moore.

Mengapa film ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk counter propaganda? Sebab film ini mengungkap apa yang dilakukan Bush, sebelum dan sesudah tragedi itu terjadi. Dengan menampilkan dokumen serta hasil investigasi, Moore bercerita tentang Bush. Di sini dikesankan bahwa Bush mengetahui kasus itu. Pemeran utama film ini adalah Presiden AS, George W. Bush dan Michael Moore. Dikisahkan bagaimana Bush kadang-kadang tampak sebagai seorang politikus gigih yang menarik dan disukai setiap orang, dengan gaya koboi-nya yang mempesona semua orang. Tetapi di sudut lain, Bush digambarkan adalah seorang oportunis rendahan, dengan didukung oleh hak-hak istimewa dan sahabat-sahabat berduit.

Untuk mengetahui makna dan pesan yang ingin disampaikan film tersebut, dapat dilakukan melalui analisis semiotik. Digunakan analisis ini, karena dengan menggunakan semiotik, kita dapat mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda (Sobur, 2001:87). Lebih lanjut, Sobur mengatakan bahwa dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.

Dalam Fahrenheit 9/11, sudah pasti Moore memasukkan berbagai macam tanda ataupun simbol-simbol untuk mengungkapkan opininya terkait dengan tragedi 911. Selain itu, film termasuk ke dalam kategori media propaganda dan merupakan salah satu bentuk komunikasi massa (Nurudin, 2001:36). Sehingga apa yang dimunculkan dalam film tersebut merupakan suatu realitas yang telah dikonstruksikan (Sobur, 2001:89) sebab film tersebut masuk ke dalam genre dokumenter jurnalistik, yang merupakan bagian dari komunikasi massa.

Oleh karena itu, melalui studi analisis semiotik ini, peneliti ingin mengetahui propaganda apa yang ingin disampaikan Moore, serta tanda, mitos, dan ideologi seperti apa yang ada dalam film tersebut. Selain itu, apakah film tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah counter propaganda atas tragedi 911. Karena selain sebagai media komunikasi massa, film juga merupakan sarana penyampaian opini dari sutradara film tersebut.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan : Bagaimana representasi propaganda Michael Moore dalam film Fahrenheit 9/11?

Identifikasi Masalah
1. Bagaimana tanda-tanda denotatif yang dimunculkan dalam film Fahrenheit 9/11?
2. Bagaimana mitos propaganda dalam film Fahrenheit 9/11?
3. Bagaimana ideologi yang memunculkan propaganda Michael Moore dalam film Fahrenheit 9/11?

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tanda-tanda denotatif yang dimunculkan dalam film Fahrenheit 9/11.
2. Mengetahui mitos propaganda dalam film Fahrenheit 9/11.
3. Mengetahui ideologi yang memunculkan propaganda Michael Moore dalam film Fahrenheit 9/1.1

Fokus Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan kepada bentuk-bentuk propaganda yang dimunculkan Michael Moore dalam film fahrenheit 9/11. Untuk mengetahui seperti apa representasi propaganda tersebut, maka yang akan diteliti adalah tanda-tanda dan mitos yang dimunculkan dalam film tersebut.

Fokus penelitian ini, akan menganalisa makna (denotatif dan konotatif) yang terkandung dari setiap tanda yang dimunculkan dalam film tersebut sehingga dapat diketahui apa mitos dan ideologi yang memunculkan propaganda Moore dalam film itu. Dengan adanya fokus penelitian ini, maka analisis dan pembahasannya akan lebih terfokus.

Kerangka Konseptual
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa seperti ; surat kabar, majalah, radio, dan film. Film sebagai salah satu media dalam komunikasi massa, memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi, khususnya terkait dengan kehidupan masyarakat (Sobur, 2003:126).

Kekuatan dan kemampuan film untuk menjangkau banyak segmentasi sosial, kemudian membuat para ahli memandang bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Sobur, 2003:127). Dari berbagai penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan kandungan pesan yang ada dibaliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Graeme Turner (Sobur, 2003:127-128) memandang makna film sebagai representasi dari realias masyarakat, berbeda dengan film sekedar refleksi dari realitas. Lebih lanjut Turner menjelaskan :
Sebagai refleksi dari realitas, film hanya sekedar “memindah” realitas ke dalam layar tanpa mengubah realitas itu sendiri. sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.

Terkait dengan film sebagai rekaan atas realitas, Van Zoest (dalam Sobur, 2003) mengatakan, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Dengan demikian film dapat dikategorikan ke dalam bidang kajian semiotik.

Film Fahrenheit 9/11 merupakan salah satu contoh film yang menggambarkan realitas ke dalam bentuk layar. Film ini termasuk ke dalam kategori film dokumenter, sebab film itu menyajikan realita seputar tragedi bom WTC 11 September 2001. John Grierson, seorang kritukus film asal Inggris menyatakan bahwa film merupakan cara kreatif untuk merepresentasikan realitas (Effendy, 2002:11).

Namun harus diakui, film (khususnya film dokumenter) tidak terlepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau pun kelompok tertentu. Content film dokumenter, selain mengandung fakta juga mengandung subyektiftas dari si pembuat film itu, yakni sikap atau opini sutradara terhadap suatu peristiwa.

Joris lvens seorang sineas film dokumenter Belanda dalam bukunya The Camera and I (Andreas Eko dalam artikel yang berjudul Movie : About the Content and Genre dalam situs Komunitas Dokumenter) menyatakan :
Pembuat film dokumenter punya rasa partisipasi langsung dengan persoalan persoalan penting dunia, suatu pengalaman yang sulit dialami oleh pembuat film paling sadar sekalipun di studio. Disini ia menyebutkan kekuatan utama film dokumenter terletak pada keotentikan dan personalitas yang mengaitkan pada faktor-faktor subyektif pembuatnya. Dengan kata lain film dokumenter bukan cerminan pasif realita tetapi memerlukan proses penafsiran lebih lanjut dari si pembuat.

Sebuah film pada dasarnya melibatkan berbagai macam bentuk tanda-tanda visual dan linguistik untuk melakukan pengkodean terhadap pesan yang disampaikan. Sebab yang terpenting dalam sebuah film adalah gambar, suara, dan musik.

Roland barthes (dalam Sobur, 2001:123) menyebutkan bahwa semiotik mengkaji signifikansi yang terpisah dari isinya. Semiotik tidak hanya meneliti signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat tanda, yang berhubungan secara keseluruhan. Teks atau pesan itu tidak hanya berkaitan dengan aspek lingusitik, namun juga dalam sebuah sistem, dimana tanda-tanda itu terkodifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar