Rabu, November 11

Contoh BAB II Humas (Kualitatif)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Bahasan dalam Bab II ini adalah mengenai Tinjaun Pustaka, Persepektif Teoritik dan Kajian Pustaka. Pengumpulan data dalam teknik banteng penulis dari studi Kepustakaan guna mendapatkan data referensi yang mendukung penelitian ini. Tinjauan Pustaka pada Beberapa akan disajikan kumpulan teori-teori yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, internet dan media massa lainnya yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. Beberapa dari teori yang disajikan dalam tinjauan pustaka disarikan Kemudian Sehingga munculah lagi landasan teori yang disajikan dalam sub bab Perspektif Teoritik. Selain dari tinjauan pustaka dari buku-buku Beberapa referensi sebuah pendapat para ahli juga dikumpulkan Beberapa referensi dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan orang yang terkait dengan penelitian penulis. Terkait hasil penelitian tersebut disajikan di sub bab Kajian Pustaka yang berguna Menjalankan Sebagai Acuan dalam penelitian ini.

Adapun tinjauan pustaka yang disajikan dalam Bab ini penulis membahas mengenai Periklanan diantaranya karena penelitian ini adalah bentuk Komunikasi Periklanan. Lalu membahas mengenai Citra Perempuan dan Ekpresi Simbolik Iklan. Kemudian juga dibahas mengenai Semiotika Sebagai metode yang Digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini. Dimana juga dijelaskan mengenai Semiotika dan Strukturalisme, Kaitan Semiotika dan Media Massa, dan sekilas mengenai Semiotika Roland Barthes yang Digunakan Sebagai Acuan penelitian ini.

Periklanan, Citra Perempuan Dan Ekspresi Simbolik Iklan
Referensi pertama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Periklanan, karena penelitian ini yaitu objeknya banteng dimana iklan Komunikasi Periklanan Sebagai Unit Analisis dalam penelitian ini.
Penelitian ini akan meneliti mengenai citra perempuan dalam iklan, maka dari itu perlu dicari referensi mengenai Citra Perempuan dari berbagai sumber guna mendukung penelitian ini tinjauan Sebagai kepustakaannya.
Ekspresi Simbolik Iklan referensi selanjutnya adalah tinjauan pustaka yang melengkapi pada sub bab ini. Dimana akan ada beberapa sumber yang akan menjelaskan mengenai ekspresi simbolik dalam iklan, bagaimana kita Mengetahui simbol-simbol dan penggunaan iklan dalam iklan itu seperti apa Sehingga kita dapat Memahami makna yang Terdapat dalam iklan tersebut.

Periklanan
Iklan telah menjadi sejarah panjang dalam peradaban manusia. Kegiatan Periklanan mulai mendapatkan popularitas pada abad 18. Pada saat iklan itu benar-benar untuk Menciptakan konsumen yang serius. Iklan tampil pada umumnya membawa pesan tentang produk, mulai dari harga hingga tempat dimana konsumen bisa mendapatkan produk itu. Iklan diharapkan mampu mengubah perilaku, Menciptakan permintaan dan membujuk orang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan konsumsi (Cakram, Mei, 2003:18). Dunia Periklanan di Indonesia bukanlah perwujudan yang seketika atau baru terjadi. Semuanya berawal dari kedatangan Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619, dimana orang Belanda harus bersaing dengan orang Portugis, Inggris dan bangsa lainnya dalam menguasai perdagangan. Pada saat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan menulis iklan secara Psikologis untuk melawan aktivitas perdagangan Portugis. Tetapi baru Kemudian satu abad setelah JP Coen meninggal tulisan tangannya Diterbitkan di surat kabar Bataviaasche Nouvelles pada 17 Agustus 1744. Iklan buatan JP Coen adalah iklan pertama di Hindia Belanda (Setiyono, 2004:2).
Iklan seakan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kehidupan kita. Begitu kita bangun dan menghidupkan televisi atau membaca surat kabar, iklan pun mulai menghampiri atau akan menerpa kita, terus terjadi Balinese waktu kita baik di rumah, di jalan, dimana saja hingga kadang kita tidak menyadarinya, dan terpaan iklan ini terus menerus hingga kita menuju ke Peraduan kembali dan terlelap. Iklan melalui media berbagai media baik cetak maupun elektronik, bahkan media luar ruang Merupakan bagian yang tak Terpisahkan dalam kehidupan kita. Bahkan Survei yang dilakukan oleh Harian Kompas di seluruh kota besar di Indonesia Bahwa tercatat tak kurang dari 70 persen responden suka Mengaku Meniru Mengikuti dan iklan yang ditayangkan di media (Kompas, 25 Agustus 2000). Demikian pula hasil peneltian Menyatakan Posting DKI 1 / 5 waktu masyarakat dihabiskan untuk menonton televisi Sedangkan 30 persen acara televisi adalah iklan (DKI Post, 1 Maret 2000).
Bisa dikatakan semua orang senang menonton televisi, padahal televisi sebenarnya penuh dengan permainan ideologis yang Muncul, termasuk didalamnya Misalnya cara pandang terhadap perempuan, bagaimana cara televisi Memandang perempuan dalam perspektif budaya, yang pada akhirnya Kemudian memperteguh posisi perempuan yang tersubordinasi dalam dunia televisi (dan media massa pada umumnya).
Televisi adalah fiktif menengah yang sangat kuat dalam masyarakat kontemporer. Televisi lahir dari hasil Kombinasi antara teknologi, industri event serta ideologi dan politis dalam masyarakat (Jurnal Perempuan, edisi XIII, 2000:55). Berbagai Kepentingan baik secara ekonomi maupun politis dapat Memanfaatkan media elektronik ini. Demikian pula industri Kepentingan Sebagai salah satu ekonomi terutama melalui Periklanan.
Ketika kita membicarakan mengenai Periklanan, Aspek ekonomi nampaknya memang menjadi salah satu patokan yang penting. Hal ini tidaklah aneh, memiliki iklan Mengingat Peran yang besar pada fungsi karena iklan ditujukan pada pasar, dan menjadi Penggerak ekonomi terutama dalam bidang industri. Oleh karenanya perkembangan Periklanan itu sendiri sejalan dengan perkembangan industri baik industri barang maupun jasa. Dalam masa kini, Muncul dugaan Semacam Bahwa masyarakat telah didominasi oleh budaya konsumen melalui apa yang Disebut Sebagai revolusi konsumsi. Konsumsi awalnya adalah mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan seseorang dengan barang dan jasa yang diproduksi secara lokal dan tradisional. Terjadinya perubahan dan perkembangan sistem pasar industri menyebabkan terjadinya perubahan besar, dari sumber-sumber tradisional dan menjadi kebutuhan pemuasan pasar yang dipenuhi dengan meningkatnya kuantitas dan variasi produk-produk yang diproduksi secara massal. Sistem-sistem agar produksi tetap bisa Berjalan, kelimpahan barang-barang dipasaran tersebut perlu diimbangi dengan konsumsi yang sifatnya massal pula. Salah satu cara untuk menstimuli konsumsi adalah massif melalui publikasi, dalam hal ini iklan menjadi salah satu elemen yang penting (Noviani, 2000:11).
Iklan berfungsi menginformasikan produk yang diproduksi secara massal pada masyarakat luas. Hal ini bertujuan agar masyarakat tergerak untuk membeli produk atau Mengkonsumsi tersebut, Sehingga terjadi keseimbangan antara prosuksi dan konsumsi. Iklan jadi menjadi salah satu sarana terpenting yang Digunakan oleh industri untuk menjamin distribusi komoditi pada khalayak luas. Ia sengaja dirancang agar bisa Menciptakan permintaan akan barang dan jasa dalam masyarakat.

Adanya Kepentingan Kapitalisme industri, yang mulai terjadi booming Ketika barang-barang produksi, maka iklan di era tahun 1780-an benar-benar ditujukan untuk Menciptakan konsumen secara serius. Periklanan Strategi yang Digunakan pada waktu itu-itu adalah mengambil atau meninggalkan-nya. Presentasi iklan begitu gamblang dan umumnya berisi informasi tentang produk. Menurut Stuart Ewen, pada awal abad ke 20 industri barang dan jasa bersama-sama dengan industri mulai Periklanan Merencanakan cara-cara untuk Menciptakan dan mendorong konsumsi konsumen Sebagai sebuah gaya hidup dalam masyarakat Amerika (Noviani, 2000:12). Situasi melimpahnya barang konsumsi di pasar Memerlukan apa yang Disebut Sebagai Stuart Ewen responsif secara berkesinambungan pasar konsumen. Dalam hal ini terjadi pergeseran dimana konsumen Situasi yang tadinya mencari barang-barang dengan kualitas yang bisa dipercaya, kini pabriklah yang mencari konsumen. Ini berarti pabrik-pabrik itu tidak hanya memproduksi barang saja, tetapi juga harus memproduksi konsumen yang akan membeli barang tersebut. Dalam kondisi ini, iklan-iklan Digunakan untuk Menciptakan banyak kekurangan-kekurangan pada diri konsumen baru dan menempatkan pabrik Pemberi Sebagai penyedia solusi atau kekurangan tersebut. Iklan merepresentasikan mimpi-mimpi buruk tetapi sekaligus mimpi-mimpi yang menyenangkan. Iklan Hasrat Menciptakan lebih suka dalam diri konsumen, konsumen menyarankan kepada Bahwa ada yang kurang dalam hubungan mereka dengan orang lain dan menawarkan produk-produk mereka Sebagai solusinya (Noviani, 2000:12-13).
Pada awal abad ke-20 ini pula produk-produk industri makin Beragam jenisnya, oleh karenanya diperlukan iklan. Iklan bertugas meyakinkan masyarakat untuk kegiatan Bahwa Mengkonsumsi, membelanjakan uang dan memuaskan keinginan Merupakan jalan menuju kebahagian dan kepuasan yang bisa diterima secara moral. Pendekatan-Pendekatan Psikologis diterapkan dalam kegiatan Periklanan Sehingga mampu menggugah emosi dan minat khalayak untuk mencari kepuasan dengan cara Mengkonsumsi barang. Melalui gambar atau citra yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, Menciptakan permintaan konsumen dan juga membujuk orang agar mampu berpartisipasi di dalam kegiatan konsumen, yang pada akhirnya masyarakat mereproduksi konsumen. Kesemuannya ini dilakukan dalam rangka memasarkan produk supaya bisa dikonsumsi konsumen.
Periklanan, yang menurut Kotler dan Amstrong (1996:12) diartikan setiap bentuk Sebagai Penyajian dan promosi bukan pribadi mengenai gagasan, barang atau jasa yang dibayar oleh sebuah sponsor tertentu. Periklanan memiliki fungsi sebagai berikut: (De Lozier ,1974:216-219)
menginformasikan; Komunikasi Periklanan Memberikan kesadaran kepada konsumen tentang produk dan menjelaskan produk dimana bisa diperoleh dan berapa harganya.
menghibur; Melalui hiburan yang berkualitas di dalam komunikasi Periklanan, maka dapat dibangkitkan perhatian konsumen agar dapat Memahami pesan-pesan iklan.
membujuk; Komunikasi Periklanan juga bertujuan agar konsumen untuk Mempengaruhi buying yang ditawarkan atau paling tidak mencoba merek tersebut. Pengaruh ini baik terhadap permintaan primer dan selektif permintaan.
mengingatkan; Komunikasi Periklanan berusaha Mengingat konsumen terhadap merek dan manfaat produk. Jadi iklan yang diiklankan secara berulang-ulang bertujuan agar selalu ingat konsumen terhadap merek atau produk yang ditawarkan.
meyakinkan; DENGAN MENGGUNAKAN Suatu atau membeli produk (yang diiklankan), diharapkan produk tersebut Bahwa Memberikan kepuasan kepada konsumen. Apabila keputusan membeli itu bijaksana, maka konsumen biasanya akan bersifat setia kepada merek atau produk yang ditawarkan.
bantuan usaha perusahaan lain; Komunikasi Periklanan Memberikan langkah-langkah mudah yang akan diambil oleh perusahaan dalam proses komunikasi Periklanan. Komunikasi Periklanan juga mendorong tercapainya Peningkatan dalam penjualan dan mempermudah konsumen dalam mengenal produk serta nilai produk.
membantu kegiatan pemasaran yang lain, dan memberikan nilai tambah produk; Komunikasi Periklanan Memberikan nilai tambah atas produk, Sehingga disamping berfungsi Memberikan informasi, juga Mempengaruhi Persepsi konsumen terhadap produk tersebut. Misalnya kesan konsumen terhadap produk sejenis adalah maskulin, feminin, prestisius, elegan dan sebagainya. Dengan demikian komunikasi Periklanan Memberikan Kontribusi besar, walau tidak semata-mata pada nilai produk.

Hal ini yang banyak dimanfaatkan para Kreator iklan, iklan agar menarik perhatian, khalayak.
Menariknya begitu citra merek (brand image) bisa dipahami karena kadang konsumen tidak hanya membeli produk itu fungsi utama (fungsi instrinsik), namun juga fungsi sampingan (fungsi ekstrinsik). Seperti yang diungkapkan John S. Wright dkk (1984:74) dalam bukunya Periklanan sebagai berikut:

"... Karena apa yang hari ini konsumen membeli bukan hanya produk akhir bahan baku tertentu diproses spesifikasi tertentu. Apa yang diinginkan, mencari dan membeli adalah manfaat, fisik dan psikologis, bahwa produk dapat menyampaikan kepada pembeli. Salah satu aspek dari manfaat ini adalah gambar produk .. "
Ekspresi Simbolik Iklan
Masyarakat pada masa sekarang ini kebanyakan memperoleh informasi melalui media massa. McLuhan (dalam Rakhmat, 1994:224) menegaskan bahwa dalam masyarakat modern informasi diperoleh secara langsung atau melalui media massa, sebagai perpanjangan alat indera kita. Informasi yang ditampilkan media massa telah diseleksi, atau realitas yang ada merupakan realitas tangan kedua (second hand reality) dan biasanya tidak dapat atau tidak sempat mengecek kebenarannya (Rakhmat,1994:224). Kecenderungan memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya kita membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Menurut Van Den Haag, selain menyajikan realitas kedua, media juga memberikan citra dunia yang keliru. Hal ini juga dikatakan oleh C.Wrigth Mills, bahwa media massa memberikan dunia pulasan (pseudoworld), dengan kata lain media massa membentuk citra khalayak ke arah yang dikehendaki media tersebut (Rakhmat, 1994:224).
Penjelmaan dunia realitas semu ini menurut Piliang (1999:226) tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kapitalisme dalam ekonomi pada tingkatnya yang mutakhir di Barat. Perkembangan teknologi informasi, komoditi dan tontonan berperan sebagai tiang-tiang penopang kapitalisme.
Televisi telah muncul sebagai fenomena perubahan sosial, yang banyak didominasi oleh ide-ide Marx. Ide-ide Marx yang tertuang dalam instrumen kapitalis yang konsumtif. Salah satu pemicu kondisi ini adalah iklan. Percepatan mesin kapitalisme ini memungkinkan adanya proses membangun identitas berdasarkan perbedaan. Dalam produk massal yang dihasilkan kapitalis mereka berusaha menunjukkan bahwa produk mereka merupakan cerminan gaya hidup mereka, sehingga mereka (konsumen) merasakan kebutuhan dan menciptakan realitas baru bahwa inilah gaya hidup yang paling baik dan menarik.
Menurut Giaccardi (dalam Ibrahim (ed), 1998:324) iklan adalah acuan. Artinya, iklan adalah diskursus tentang realitas, yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimuli suatu dunia mimpi yang hiper-realistik. Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Frith (dalam Ibrahim (ed) 1998:324) pernah mengatakan bahwa iklan yang baik adalah iklan yang mampu berkomunikasi dengan kebudayaan, iklan adalah sama dengan komunikasi plus kebudayaan. Iklan bekerja dengan cara merefleksikan budaya tertentu ke konsumen.
Oleh karenanya iklan berupaya membuat sebuah representasi suatu kenyataan yang hidup melalui simbol-simbol tertentu, sehingga diharap mampu menghidupkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya.
Dalam iklan yang terjadi adalah kombinasi antara representasi dan simulasi, atau menurut Ervin Goffman adalah commercial realism (dalam Noviani, 2000:135), dimana dalam sebuah teks iklan ditampilkan citra-citra yang membentuk alam fantasi dan realitas hiper di satu sisi, dan representasi realitas di sisi lain.
Kesadaran adalah hal yang paling penting dalam konstruksi sosial, karena konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Dalam proses konstruksi sosial terjadi penyesuaian dengan simbol-simbol yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Simbol dalam iklan ternyata dapat membawa makna lebih dibandingkan melihatnya secara langsung, terutama simbol yang bersifat visual (Rochayani, 2000:62). Terlebih lagi iklan melalui televisi karena televisi tidak hanya mampu menampilkan iklan secara visual namun juga audio secara bersamaan.
Semiotika
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan salah satu tokoh utama dalam perkembangan semiotika. Semiotika sering hanya dihubungkan dengan ilmu kebahasaan atau linguistik. Hal ini bisa dimengerti semiotika hanya merupakan bagian dari ilmu linguistik. Ilmu linguistik hanya merupakan bagian dari semiotika secara umum. Disamping itu bisa dimengerti dan dimaklumi karena pada saat itu ilmu linguistik merupakan disiplin ilmu yang lebih mapan bila dibandingkan dengan studi sistem tanda yang lain. Emile Benveniste menyatakan bahwa, “... bahasa adalah sistem penafsiran dari semua sistem tanda yang lain, baik linguistik maupun non linguistik” (www.aber.ac.uk/semiotic.html).
Jadi, semiotik menjadikan linguistik sebagai model dan menerapkan konsep linguistik pada fenomena (teks) yang lain dan bukan hanya untuk linguistik itu sendiri. Teks diperlukan sebagaimana bahasa, dengan menempatkan hubungan (relationship) sebagai hal yang penting dan bukan semata-mata sebagai benda. Berkaitan dengan hal ini, Jonathan Culler menyatakan :
“Gagasan bahwa linguistik dapat berguna dalam mempelajari fenomena kultural didasarkan pada dua pandangan penting. Pertama, fenomena sosial dan kultural bukanlah sekedar obyek material atau kejadian semata-mata, tetapi obyek atau kejadian dengan makna – dan oleh sebab itu – tanda-tanda. Kedua, mereka tidak mempunyai esensi kecuali jika didefinisikan dalam sebuah jaringan hubungan” (Berger,1982:17).

Tokoh lain dari semiotika adalah Umberto Eco (1976) dengan bukunya A Theory of Semiotics. Semiotik yang dikembangkan Eco ditujukan pada proses dimana kultur memproduksi tanda dan atau menghubungkan makna pada tanda. Meskipun bagi Eco produksi makna adalah aktivitas sosial, dia mengizinkan faktor subyektif dilibatkan pada setiap tindakan individual dalam melakukan tindak semiotik (act of semiotics). Pendapat ini dihubungkan dengan dua pokok dari teori semiotika terbaru yaitu :
Pertama, semiotik difokuskan pada aspek subyektif dari signifikasi dan sangat dipengaruhi oleh psikoanalisis dari Lacan, dimana makna ditafsirkan sebagai “a subject effect” (the subject being an effect of the signifier); Kedua, semiotik tertarik untuk menekankan aspek sosial dari signifikasi, yaitu penggunaan praktis, estetis dan ideologis dalam sebuah komunikasi. Makna ditafsirkan sebagai nilai semantik yang diproduksi melalui kode-kode bersama dalam sebuah kultur (www.aber.ac.uk/semiotic.html).

Ferdinand de Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebutnya sebagai penanda (signifier) atau citra suara. Penanda merupakan aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang berbicara. Sisi kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda, adalah apa yang disebut Saussure sebagai petanda (signified) atau konsep.
Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu (Zoest,1996:23) :
Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.
indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.
simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan.

Signified (petanda) dan signifier (penanda) merupakan produk kultural. Terhubungnya setiap penanda dengan sebuah petanda dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sebuah sistem relasi yang bersifat arbiter (manasuka) dan didasarkan atas kesepakatan (konvensi), kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Disebabkan hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka makna signifier harus dipelajari, yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar